Sabtu, 29 Mei 2021

Istiqomah dalam Beramal Shaleh*

 *ONE DAY ONE HADITS* 


Kamis, 15 Syawal 1442 H/ 27 Mei 2021 M

_Ummul Mukminin, ’Aisyah radliallahu ‘anha ketika mendengar ayat 60 Surah Al-Mu'minun, beliau merasa heran dikarenakan tabiat asli manusia ketika telah mengerjakan suatu amal shaleh, jiwanya akan merasa senang. Namun dalam ayat ini Allah ta’ala memberitakan suatu kaum yang melakukan amalan shaleh, akan tetapi hati mereka justru merasa takut. Maka beliau pun bertanya kepada kekasihnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,_


*أَهُمُ الَّذِينَ يَشْرَبُونَ الْخَمْرَ وَيَسْرِقُونَ*


_*“Apakah mereka orang-orang yang meminum khamr dan mencuri?”*_


_*Maka Rasulullah pun menjawab,*_


*لَا يَا بِنْتَ الصِّدِّيقِ وَلَكِنَّهُمْ الَّذِينَ يَصُومُونَ وَيُصَلُّونَ وَيَتَصَدَّقُونَ وَهُمْ يَخَافُونَ أَنْ لَا يُقْبَلَ مِنْهُمْ أُولَئِكَ الَّذِينَ يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ*


_*”Tidak wahai ’Aisyah. Mereka adalah orang-orang yang berpuasa, menegakkan shalat dan bersedekah akan tetapi mereka merasa takut amalan yang telah mereka kerjakan tidak diterima di sisi Allah. Mereka itulah golongan yang senantiasa berlomba-lomba dalam mengerjakan kebajikan.” (HR. Tirmidzi nomor 3175.)*_



*Beberapa Pelajaran yang Terdapat dalam Hadits diatas :*


1️⃣ Pertanyaan yang teramat mendesak untuk dijawab oleh diri kita masing-masing adalah, ”Setelah Ramadlan berlalu, sudahkah kita menunaikan berbagai sebab yang akan mempermudah amalan kita di bulan Ramadlan diterima di sisi-Nya dan sudahkah kita bertekad untuk terus melanjutkan berbagai amalan ibadah yang telah kita galakkan di bulan Ramadlan?”


Tidakkah kita meneladani generasi sahabat (salafush shalih), dimana hati mereka merasa sedih seiring berlalunya Ramadlan. Mereka merasa sedih karena khawatir bahwa amalan yang telah mereka kerjakan di bulan Ramadlan tidak diterima oleh Allah ta’ala. Sebagian ulama salaf mengatakan,


*كَانُوا يَدْعُوْنَ اللهَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ أَنْ يَبْلُغَهُمْ شَهْرَ رَمَضَانَ ثُمَّ يَدْعُوْنَ اللهَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ أَنْ يَتَقَبَّلَهُ مِنْهُمْ*


*”Mereka (para sahabat) berdo’a kepada Allah selama 6 bulan agar mereka dapat menjumpai bulan Ramadlan. Kemudian mereka pun berdo’a selama 6 bulan agar amalan yang telah mereka kerjakan diterima oleh-Nya.”* _(Lathaaiful Ma’arif hal. 232)._


2️⃣ Oleh karena itu, para salafush shalih senantiasa berkonsentrasi dalam menyempurnakan dan menekuni amalan yang mereka kerjakan kemudian setelah itu mereka memfokuskan perhatian agar amalan mereka diterima karena khawatir amalan tersebut ditolak.


_’Ali bin Abi Thalib radliallahu ‘anhu mengatakan,_


*كُوْنُوْا لِقَبُوْلِ اْلعَمَلِ أَشَدَّ اهْتِمَامًا مِنْكُمْ بِاْلعَمَلِ أَلَمْ تَسْمَعُوْا اللهَ عَزَّ وَ جَلَّ يَقُوْلُ :[إِنَّمَا يَتَقَبَلُ اللهُ مِنَ اْلمُتَّقِيْنَ]*


*”Hendaklah kalian lebih memperhatikan bagaimana agar amalan kalian diterima daripada hanya sekedar beramal. Tidakkah kalian menyimak firman Allah ’azza wa jalla,* 


*[إِنَّمَا يَتَقَبَلُ اللهُ مِنَ اْلمُتَّقِيْنَ]*


 _*“Sesungguhnya Allah hanya menerima (amalan) dari orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al Maaidah: 27).” _* _(Lathaaiful Ma’arif: 232)._


3️⃣ Demikianlah sifat yang tertanam dalam diri mereka. Mereka bukanlah kaum yang merasa puas dengan amalan yang telah dikerjakan. Mereka tidaklah termasuk ke dalam golongan yang tertipu akan berbagai amalan yang telah dilakukan. Akan tetapi mereka adalah kaum yang senantiasa merasa khawatir dan takut bahwa amalan yang telah mereka kerjakan justru akan ditolak oleh Allah ta’ala karena adanya kekurangan. Demikianlah sifat seorang mukmin yang mukhlis dalam beribadah kepada Rabb-Nya. Allah ta’ala telah menyebutkan karakteristik ini dalam firman-Nya,


*وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ (٦٠)*


_*”Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Rabb mereka.” (Al Mukminun: 60)*_


*Tema Hadits yang Berkaitan dengan Al-Qur'an:*


_Allah berfirman :_ 


*وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ (٦٠)*


_*”Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Rabb mereka." (QS. Al-Mukminun: 60)*_




‌           ‌

Rabu, 26 Mei 2021

PENTINGNYA MENGINGAT KEMATIAN

 *Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh*


***


عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِىِّ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: اَكْثِرُوا مِنْ ذِكْرِ الْمَوْتِ فَإِنَّهُ يُمَحِّصُ الذُّنُوْبَ وَيُزْهِدُ الدُّنْيَا. (حديث حسن صحيح، رواه الترمذي)


Artinya : 

_Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: ”Perbanyaklah mengingat kematian, sebab yang demikian itu akan menghapuskan dosa, dan menyebabkan timbulnya kezuhudan di dunia.”_ (Hadits Hasan Shahih Riwayat At-Tirmidzi)


*Pelajaran yang terdapat pada hadits di atas :*


1. Dunia adalah tempat kita mempersiapkan diri untuk akhirat. Sebagai tempat persiapan, dunia pasti akan kita tinggalkan. Ibarat terminal, kita transit di dalamnya sejenak, sampai waktu yang ditentukan, setelah itu kita tinggalkan dan melanjutkan perjalanan lagi.

2. Bila demikian tabiat dunia, mengapa kita terlalu benyak menyita hidup kita untuk keperluan dunia? Diakui atau tidak, dari 24 jam jatah usia kita dalam sehari, bisa dikatakan hanya beberapa persen saja yang kita gunakan untuk persiapan akhirat. Selebihnya bisa dipastikan terkuras habis oleh kegiatan yang berputar-putar di sekitar dunia. Padahal kita sangat perlu untuk menyeimbangkan keduanya.

3. Dalam hal menyeimbangkan kehidupan dunia dan akhirat, Rasûlullâh SAW. bersabda:

إِتَّقِ اللّٰهَ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ اَلْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ.

_”Bertakwalah kamu kepada Allah dimana pun kamu berada, iringilah kesalahanmu dengan kebaikan niscaya ia dapat menghapuskanya dan pergaulilah semua manusia dengan budi pekerti yang baik.”_ (HR. Tirmidzi dan Ahmad)

4. Bila kita ingat nikmat Allah yang tak terhingga, setiap saat darah mengalir dalam tubuh kita. Tapi mengapa kita lalaikan itu semua. Detakan jantung tidak pernah berhenti. Kedipan mata yang tak terhitung berapa kali dalam sehari, selalu kita nikmati. Tapi kita sengaja atau tidak selalu melupakan hal itu. Kita sering mudah berterimakasih kepada seseorang yang berjasa kepada kita, sementara kepada Allah yang senantiasa memanjakan kita dengan nikmat-nikmat-Nya, kita sering kali memalingkan ingatan. Akibatnya kita pasti akan lupa akhirat. Dari sini dunia akan selalu menghabiskan waktu kita.

5. Mengingat kematian akan mendorong seseorang untuk mempersiapkan bekal kematian, menghindari melakukan perbuatan-perbuatan yang menjurus kepada kemaksiatan dan mendorong berlaku taqwa.

6. Oleh karena itu, mari kita senantiasa memperbanyak mengingat penghancur segala kelezatan dan pemutus segala kenikmatan yaitu “Kematian”. Cukuplah kematian sebagai nasihat dan guru terbaik dalam kehidupan kita.

كفى بالموت واعظا.

_“Cukuplah kematian itu sebagai nasihat.”_

Kematian adalah nasehat terbaik dan guru kehidupan, sedikit saja kita lengah dari memikirkan maka kita akan kehilangan guru terbaik dalam kehidupan.

7. Dalam perspektif Islam orang yang banyak mengingat kematian dinilai sebagai orang yang cerdik. Rasûlullâh Shalallahu ‘Alaihi Wasallam yang mulia pernah ditanya;

يا رسول الله أي المؤمنين أكيس؟

_“Wahai Rasûlullâh siapakah Mu’min yang paling cerdik itu?”_ Beliau Rasûlullâh Shalallahu ‘Alaihi Wasallam menjawab;

اكْيَسُ النَّاسِ اَكْثَرُهُمْ ذِكْرًا لِلْمَوْتِ وَاَشَدُّهُمْ اِسْتِعْدَادًا لَهُ اُوْلَئِكَ هُمُ اْلاَكيَاسُ ذَهَبُوْا بِشَرَفِ الدُّنْيَا وَكَرَامَةِ اْلاَخِرَاةِ. (رواه ابن ماجة)

 _”Secerdik-cerdik manusia adalah yang terbanyak ingatanya kepada kematian, serta yang terbanyak persiapanya menghadapi kematian itu. Mereka itulah orang-orang yang benar-benar cerdik. Dan mereka akan pergi ke alam baka dengan membawa kemuliaan dunia serta kemuliaan akhirat.”_ (Hadits Hasan Shahih Riwayat Ibnu Majah, dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu)

8. Kematian bukan akhir dari kehidupan kita akan tetapi awal dari kehidupan yang sebenarnya, yaitu kehidupan yang kekal nan abadi di akherat.

Mari persiapkan bekal kita untuk menuju perjalanan ke kampung akherat yang sangat panjang, dengan bekal terbaik kita yakni Iman, Taqwa dan Amal-amal Sholeh.

9. Sekurang-kurangnya ada 7 cara untuk mengingat kematian:

1) Meningkatkan pemahaman tentang kehidupan sesudah mati. Hal ini sesuai dengan  firman Allah SWT; bahwa sesungguhnya kehidupan di akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertaqwa…

وَلَلدَّارُ اْلأَخِرَةِ خَيْرٌ لِلَّذِيْنَ يَتَّقُوْنَ أَفَلاَ تَعْقِلُوْن.

2) Menjadikan dunia sebagai tempat menanam kebajikan dan tempat persinggahan. Menanam benih-benih kebajikan sangat dianjurkan dalam Islam selagi kita hidup di dunia, karena dengan demikian, kita akan memanen kebajikan itu di akhirat nanti.

3) Penting untuk menyadari bahwa kematian itu sangat dekat dengan kita, kapan pun dan di manapun, kematian pasti terjadi.

4) Dengan membiasakan untuk menjenguk orang sakit baik itu keluarga maupun tetangga dan mendo'akannya agar diberi kesembuhan.

5) Bertakziah kepada yang ditimpa musibah kematian, bisa dengan sukarela ikut mengurus, memandikan, menshalati jenazah dan mengantar jenazah sampai dengan penguburan jenazah.

6) Membiasakan diri untuk berziarah kubur, utamanya adalah berziarah kepada sanak keluarga yang sudah mendahului kita, atau sesekali berziarah ke makam alim-ulama' dan waliyullah di berbagai tempat.

7) Berusaha untuk selalu berdo'a agar pada saatnya, kita dijemput kematian yang diridhai Allah SWT, yang khusnul khatimah, terbebas dari siksa kubur dan siksa api neraka, memperbanyak dzikir dan do'a yang diajarkan Rasûlullâh SAW, yang dapat menjadi sarana bagi kita untuk mengingat kematian dan kehidupan sesudahnya. Doa dan dzikir tersebut, misalnya, saat tahiyyat akhir sebelum salam dianjurkan untuk berdo'a:

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَمِنْ عَذَابِ النَّارِ وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ (رواه مسلم)


"Allahumma inni audzubika min adzabil-qabri, wa min adzabin naari, wa min fitnatil mahya wal-mamati, wa min fitnatil masiihid-Dajali."


_"Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari siksa kubur dan dari siksa neraka. Dan dari fitnah kehidupan dan kematian, serta dari keburukan fitnah Dajjal."_


*Tema hadits yang berkaitan dengan ayat Al-Qur'an :*


1. Ada sebuah hal yang terkadang kita luput memikirkanya, meskipun suatu saat kita bakal menghadapinya, perkara itu tiada lain adalah kematian. Siapapun akan mengalami mati, kematian adalah keniscayaan yang dialami oleh setiap manusia walaupun sebabnya berbeda-beda;


قُلْ اِنَّ الْمَوْتَ الَّذِى تَفِرُّوْنَ مِنْهُ فَإِنَّهُ مُلَقِيكُمْ ثُمَّ تُرَدُّوْنَ اِلَى عَلِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَدَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ ۞


_Katakanlah: ”Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.”_ (QS Al-Jumu'ah: 8)


2. Allah SWT. berfirman, bahwa setiap yang berjiwa pasti akan merasakan kematian;


كُلُّ نَفْسٍ ذَآئِقَةُ الْمَوْتِ ۗ وَنَبْلُوْكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً ۗ وَاِلَيْنَا تُرْجَعُوْنَ ۞


_"Setiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan."_ (QS. Al-Anbiya'/21: 35)


3. Sebagai bahan ujian untuk menguji siapa yang terbaik amalnya yang dipersembahkan kepada Allah SWT.;


الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا ۚ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ ۞


_"(Dialah Allah) Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun."_ (QS. Al-Mulk/67: 2)


4. Sudahkah kita menyiapkan diri untuk menghadapi ujian tersebut?

Kita tak bisa mengelak atau lari dengan ujian ini, walaupun bersembunyi tetap menghampiri diri kita;


أَيْنَمَا تَكُونُوا يُدْرِكْكُمُ الْمَوْتُ وَلَوْ كُنْتُمْ فِي بُرُوجٍ مُشَيَّدَةٍ ۗ ۞


_"Di mana saja kamu sekalian berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh."_ (QS. An-Nisa’/4: 78)

Minggu, 16 Mei 2021

Tiga Pedoman Hidup

 ONE DAY ONE HADITS

Ahad, 16 Mei 2021/ 4 Syawal 1442




عَنْ أَبِي ذَرّ جُنْدُبْ بْنِ جُنَادَةَ وَأَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ مُعَاذ بْن جَبَلٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : اِتَّقِ اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ، وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا، وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ “

[رواه الترمذي وقال حديث حسن وفي بعض النسخ حسن صحيح]


Dari Abu Zar, Jundub bin Junadah dan Abu Abdurrahman, Mu’az bin Jabal radhiallahuanhuma dari Rasulullah saw beliau bersabda : Bertakwalah kepada Allah dimana saja kamu berada, iringilah keburukan dengan kebaikan niscaya menghapusnya dan pergauilah manusia dengan akhlak yang baik “

(Riwayat Turmuzi, dia berkata haditsnya hasan, pada sebagian cetakan dikatakan hasan shahih).


Pelajaran yang terdapat dalam hadits :


1. Takwa kepada Allah merupakan kewajiban setiap muslim dan dia merupakan asas diterimanya amal shaleh.

2. Bersegera melakukan ketaatan setelah keburukan secara langsung, karena kebaikan akan menghapus keburukan.

3. Bersungguh-sungguh menghias diri dengan akhlak mulia.

4. Menjaga pergaulan yang baik merupakan kunci kesuksesan, kebahagiaan dan ketenangan di dunia dan akhirat. Hal tersebut dapat menghilangkan dampak negatif pergaulan.


Tema hadits yang berkaitan dengan Al-Quran:


1. Takwa, bekal disetiap tempat dan waktu 


وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُونِ يَا أُولِي الألْبَابِ


Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku, hai orang-orang yang berakal.(Al-Baqarah:197)


2. Akhlak mulia


وَإِنَّكَ لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيمٍ 


Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang luhur. (Al-Qolam:4).Lr

Kamis, 13 Mei 2021

Ramadhan Bulan Pendidikan Kesabaran

  Ramadhan Bulan Pendidikan Kesabaran


عن أبي قتادة رضي اللَّه عنه قال، قال رسول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :

((صَوْمُ شَهْرِ الصَّبْرِ وَثَلَاثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ صَوْمُ الدَّهْرِ))


Dari Abu Qatadah Radhiyallahu 'anhu berkata, berkata Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam :

“Puasa bulan kesabaran dan puasa tiga hari di setiap bulan adalah puasa sepanjang tahun”.  (Musnad Imam Ahmad  (7567، 8965) dan Imam Muslim  (1162), dan ini lafadz riwayat Imam Ahmad)


,,,✒️Pelajaran yang terdapat didalam hadits :


▪️1- Adalah sebuah anugerah yang besar ketika seorang hamba menjumpai bulan Ramadhan yang diberkahi ini, karena ia akan memetik sekian banyak faedah yang besar jika ia benar-benar memanfaatkan bulan yang agung ini untuk beribadah kepada Allah dengan sebaik-baiknya. 


▪️2- Diantara faedah yang besar itu adalah diraihnya KESABARAN, baik dalam melakukan ketaatan kepada Allah, menjauhi kemaksiatan maupun didalam menghadapi taqdir Allah yang terasa berat dirasa oleh seorang hamba.


▪️3- Ketiga hal ini -yang mengumpulkan seluruh ajaran agama Islam ini- tidaklah bisa terlaksana kecuali dengan kesabaran.


▪️4- Sesungguhnya kesabaran adalah asas yang terbesar bagi setiap akhlak yang indah dan bagi upaya menghindari akhlak yang hina. Dan sabar itu adalah menahan diri dari perkara yang tidak disukai oleh hawa nafsu dan menyelisihi seleranya, dalam rangka meraih ridho Allah dan pahalanya.


▪️5- Sesungguhnya bulan Ramadhan adalah madrasah yang agung dan bangunan (keimanan) yang tinggi, yang para hamba mengambil darinya banyak ibroh dan pelajaran bermanfaat yang mendidik jiwa dan meluruskannya pada bulan Ramadhan ini dan di sisa umurnya. Dan salah satu (pelajaran besar) yang diambil oleh orang-orang yang berpuasa di bulan yang agung dan musim yang diberkahi ini adalah membiasakan diri dan membawanya kepada kesabaran, oleh karena itu , terdapat dalam beberapa Hadits, (bahwa) Nabi yang sangat penyayang shallallahu ‘alaihi wa sallam- mensifati bulan Ramadhan dengan “bulan kesabaran”.


,,,✍🏻Tema hadits yang berkaitan dengan Al-Qur'an :


▪️1- Yakni Aku akan memberikan pahala yang banyak kepada orang yang sabar tanpa menentukan kadarnya. 


إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ


Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas. (QS. Az-Zumar: 10)


▪️2- Perintah ini tidak dapat diterima, tidak dapat pula diamalkan kecuali hanyalah oleh orang yang sabar dalam menjalaninya, obyek sabar: sabar dalam ketaatan, sabar tidak berbuat maksiat,  sabar didalam menghadapi taqdir Allah yang terasa berat dirasa oleh seorang hamba. Karena sesungguhnya hal ini amat berat pengamalannya.


وَمَا يُلَقَّاهَا إِلا الَّذِينَ صَبَرُوا وَمَا يُلَقَّاهَا إِلا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ


“Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar, dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar.” (QS. Fussilat :35)

Minggu, 09 Mei 2021

Amalan Ringan Pengantar ke Surga"

 ﷽

*ﺍﻟﺴَّﻼَﻡُ ﻋَﻠَﻴْﻜُﻢْ ﻭَﺭَﺣْﻤَﺔُ ﺍﻟﻠﻪِ ﻭَﺑَﺮَﻛَﺎﺗُﻪُ*


☘ *ONE DAY ONE HADITS* 

Sabtu, 08 Mei 2021 M/ 

26 Ramadhan 1442 H.


*"*


Surga adalah negeri yang tentram dan damai, negeri yang dipenuhi dengan berbagai kenikmatan yang tiada henti, negeri dengan kebahagiaan abadi. Kenikmatan Surga adalah kenikmatan yang tidak bisa dijangkau indera manusia. Tidak ada kenikmatan dunia yang setara dengan kenikmatan Surga. Allah Ta’ala telah menggambarkan kenikmatan Surga melalui berbagai macam cara. Terkadang, Allah berfirman dalam hadits qudsi:

(أَعْدَدْتُ لِعِبَادِى الصَّالِحِينَ مَا لاَ عَيْنٌ رَأَتْ ، وَلاَ أُذُنٌ سَمِعَتْ ، وَلاَ خَطَرَ عَلَى قَلْبِ بَشَرٍ ، فَاقْرَءُوا إِنْ شِئْتُمْ ( فَلاَ تَعْلَمُ نَفْسٌ مَا أُخْفِىَ لَهُمْ مِنْ قُرَّةِ أَعْيُنٍ

“Aku sediakan bagi hamba-hamba-Ku yang sholeh, Surga yang (kenikmatannya) tidak pernah dilihat oleh mata, tidak pernah didengar oleh telinga dan tidak pernah terbetik dalam hati manusia.” Bacalah firman Allah Ta’ala, “Tak seorang pun mengetahui berbagai nikmat yang menanti, yang indah dipandang sebagai balasan bagi mereka, atas apa yang mereka kerjakan.” (QS. As Sajdah: 17).” [HR. Bukhari & Muslim].

Jalan menuju Surga memang dipenuhi onak dan duri, akan tetapi sesungguhnya ada banyak amalan-amalan yang mudah dilakukan, namun Allah membalasnya dengan ganjaran yang sangat besar sebagai bentuk kasih sayang Allah kepada hamba hamba-Nya. Berikut ini beberapa amalan yang insyaAllah ringan diamalkan namun bisa menghantarkan pelakunya ke Surga.

 

1. Menuntut Ilmu Syar’i

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللهُ لَهُ طَرِيْقًا إِلَى الْجَنَّةِ

“Barangsiapa menempuh suatu jalan untuk  mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju Surga.” [HR Muslim]

Imam Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah mengatakan :

فَإِنَّ الْعِلْمَ يَدُلُّ عَلَى اللَّهِ مِنْ أَقْرَبِ الطَّرِيقِ إِلَيْهِ، فَمَنْ سَلَكَ طَرِيقَةً، وَلَمْ يَعْرُجْ عَنْهُ، وَصَلَ إِلَى اللَّهِ وَإِلَى الْجَنَّةِ مِنْ أَقْرَبِ الطُّرُقِ وَأَسْهَلِهَا فَسَهُلَتْ عَلَيْهِ الطُّرُقُ الْمُوْصِلَةُ إِلَى الْجَنَّةِ

Sesungguhnya ilmu syar’i menunjukkan kepada Allah dari jalan yang paling dekat kepada-Nya, barangsiapa yang menempuh jalannya dan tidak keluar dari jalurnya maka ia akan sampai kepada Allah dan Surga dari jalan terdekat dan termudah. Akan mudah semua jalan yang akan menghantarkannya menuju Surga. [Jaami’ul ‘ulum Wal Hikam  2/298]

 

2. Membaca Ayat Kursi Setiap Selesai Shalat Fardhu

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ قَرَأَ آيَةَ الْكُرْسِي دُبُرَ كُلِّ صَلاَةٍ لَمْ يَمْنَعْهُ مِنْ دُخُوْلِ الْجَنَّةَ إِلاَّ أَنْ يَمُوْتَ

“Barangsiapa yang membaca Ayat Kursi setiap selesai shalat, maka tidak ada yang dapat menghalanginya untuk masuk Surga kecuali jika dia mati.” [HR an-Nasaa’i Shahih].

Imam al-Munawi rahimahullah mengatakan :

وَقَالَ التَّفْتَازَانِيُّ: مَعْنَى الْحَدِيثِ أَنَّهُ لَمْ يَبْقَ مِنْ شَرَائِطِ دُخُولِ الْجَنَّةِ إِلَّا الْمَوْتُ، فَكَأَنَّ الْمَوْتَ يَمْنَعُ وَيَقُولُ: لَا بُدَّ مِنْ حُضُورِي أَوَّلًا لِيَدْخُلَ الْجَنَّةَ

“Berkata At-Taftazani: makna hadits ini adalah tidak tersisa dari syarat-syarat untuk masuk ke Surga kecuali kematian, seakan-akan kematian mencegahnya dan mengatakan: engkau harus melewatiku terlebih dahulu kemudian masuk ke dalam Surga.” [Faidhul Qadir 2/6].

 

3. Menyingkirkan Gangguan di Jalan

Baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَقَدْ رَأَيْتُ رَجُلاً يَتَقَلَّبُ فِي الجَنَّةِ فِي شَجَرَةٍ قَطَعَهاَ مِنْ ظَهْرِ الطَّرِيقِ كَانَتْ تُؤْذِي النَّاسَ

“Sungguh aku telah melihat seorang lelaki mondar-mandir di dalam Surga dikarenakan sebuah pohon yang dia tebang dari tengah jalan yang selalu mengganggu manusia.” [HR. Muslim].

Dalam riwayat yang lain:

مَرَّ رَجُلٌ بِغُصْنِ شَجَرَةٍ عَلَى ظَهْرِ طَرِيقٍ فَقَالَ وَاللهِ لأُنَحِّيَنَّ هَذَا عَنْ المُسْلِمِينَ لَا يُؤذِيهِمْ فَأُدْخِلَ الجَنَّةَ

“Ada seorang lelaki berjalan melewati ranting pohon yang ada di tengah jalan, lalu dia berkata, ‘Demi Allah, sungguh aku akan singkirkan ranting ini dari kaum muslimin agar tidak menganggu mereka.’ Maka dia pun dimasukkan ke dalam Surga.” [HR Muslim].

 

4. Menebarkan Salam

Dari sahabat yang mulia Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,  Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

يَا أَيُّهَا النَّاسُ، أَفْشُوا السَّلَامَ، وَأَطْعِمُوا الطَّعَامَ، وَصَلُّوا وَالنَّاسُ نِيَامٌ تَدْخُلُونَ الجَنَّةَ بِسَلَامٍ

“Hai manusia sebarkan salam, berilah makan orang lain, hubungkanlah sanak keluarga, dan dirikanlah sholat ketika orang-orang sedang tidur, niscaya kamu akan masuk Surga dengan salam (damai).” [HR. Tirmidzi].

 

5. Mengamalkan Dua Hal Yang Disebutkan Dalam Hadist Berikut

Imam Abu Daud dalam sunannya meriwayatkan dari sahabat Abdullah bin ‘amr radhiyallahu ‘anhu  dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

خَصْلَتَانِ، أَوْ خَلَّتَانِ لَا يُحَافِظُ عَلَيْهِمَا عَبْدٌ مُسْلِمٌ إِلَّا دَخَلَ الْجَنَّةَ، هُمَا يَسِيرٌ، وَمَنْ يَعْمَلُ بِهِمَا قَلِيلٌ، يُسَبِّحُ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلَاةٍ عَشْرًا، وَيَحْمَدُ عَشْرًا، وَيُكَبِّرُ عَشْرًا، فَذَلِكَ خَمْسُونَ وَمِائَةٌ بِاللِّسَانِ، وَأَلْفٌ وَخَمْسُ مِائَةٍ فِي الْمِيزَانِ، وَيُكَبِّرُ أَرْبَعًا وَثَلَاثِينَ إِذَا أَخَذَ مَضْجَعَهُ، وَيَحْمَدُ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ، وَيُسَبِّحُ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ، فَذَلِكَ مِائَةٌ بِاللِّسَانِ، وَأَلْفٌ فِي الْمِيزَانِ» فَلَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْقِدُهَا بِيَدِهِ، قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ هُمَا يَسِيرٌ وَمَنْ يَعْمَلُ بِهِمَا قَلِيلٌ؟ قَالَ: «يَأْتِي أَحَدَكُمْ – يَعْنِي الشَّيْطَانَ – فِي مَنَامِهِ فَيُنَوِّمُهُ قَبْلَ أَنْ يَقُولَهُ، وَيَأْتِيهِ فِي صَلَاتِهِ فَيُذَكِّرُهُ حَاجَةً قَبْلَ أَنْ يَقُولَهَا

“Ada dua perkara atau dua hal yang jika dijaga oleh seorang muslim, maka dia akan masuk Surga. Keduanya ringan, namun sedikit yang mengamalkannya, yaitu: bertasbih di akhir setiap shalat 10 kali, bertahmid 10 kali, dan bertakbir 10 kali. Itu adalah 150 di lisan dan 1.500 di timbangan.

Demikian pula ia bertakbir 34 kali ketika hendak tidur, bertahmid 33 kali dan bertasbih 33 kali, hal itu adalah 100 di lisan dan 1.000 di timbangan.” Sungguh, aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menghitungnya dengan tangannya.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana (bisa) keduanya ringan, namun sedikit yang mengamalkannya?” Beliau menjawab, “(Setan) akan mendatangimu di tempat tidur, lalu membuatnya tidur sebelum mengucapkannya dan mendatanginya ketika shalat, lalu mengingatkan kebutuhan dunianya sebelum ia sempat membacanya.” [HR. Tirmidzi, Abu Dawud, dan Nasa’i, Shahih].

 

6.  Menjenguk Orang Sakit

Ali radhiyallahu ‘anhu berkata, aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَعُوْدُ مُسْلِمًا غُدْوَةً إِلاَّ صَلَّى عَلَيْهِ سَبْعُوْنَ أَلْفَ مَلَكٍ حَتَّى يُمْسِيَ، وَإِنْ عَادَهُ عَشِيَّةً إِلاَّ صَلَّى عَلَيْهِ سَبْعُوْنَ أَلْفَ مَلَكٍ حَتَّى يُصْبِحَ، وَكَانَ لَهُ خَرِيْفٌ فِي الْجَنَّةِ

“Tidaklah seorang muslim menjenguk muslim yang lain di pagi hari melainkan 70.000 Malaikat bershalawat atasnya (memintakan ampun untuknya) hingga ia berada di sore hari. Dan jika ia menjenguknya di sore hari maka 70.000 Malaikat bershalawat atasnya (memintakan ampun untuknya) hingga ia berada di pagi hari. Dan ia memiliki buah-buahan yang dipetik di dalam Surga.” [HR. At-Tirmidzi, Shahih].

Wallahu A’lam.

TIGA PERKARA YANG JIKA ADA PADA SESEORANG, DIA AKAN MERASAKAN MANISNYA IMAN

 _Ⓜ️edia Sunnah Nabi_


⚠️ 


Oleh:

Al-Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas حفظه الله 


Dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu , dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


 ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيْهِ وَجَدَ بِهِنَّ حَلَاوَةَ الْإِيْمَانِ، مَنْ كَانَ اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ يُـحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلهِ، وَأَنْ يَكْرَهَ  أَنْ يَعُوْدَ فِـي الْكُفْرِ بَعْدَ أَنْ أَنْقَذَهُ اللهُ مِنْهُ، كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِـي النَّارِ.


Ada tiga perkara yang apabila perkara tersebut ada pada seseorang, maka ia akan mendapatkan manisnya iman, yaitu (1) barangsiapa yang Allâh dan Rasûl-Nya lebih ia cintai dari selain keduanya, (2) apabila ia mencintai seseorang, ia hanya mencintainya karena Allâh. (3) Ia benci untuk kembali kepada kekufuran setelah Allâh menyelamatkannya sebagaimana ia benci untuk dilemparkan ke dalam Neraka.


🛑 TAKHRIJ HADITS


Hadits ini *shahih.* Diriwayatkan oleh: 


1. Al-Bukhari (no. 16), 

2. Muslim (no. 43), 

3. At-Tirmidzi (no. 2624), 

4. An-Nasa`i (VIII/95-96), dan 

5. Ibnu Majah (no. 4033) 

 

🛑 SYARAH HADITS 


Lafazh كَانَ  di sini adalah kata kerja tammah (sempurna, tidak butuh isim dan khabar), artinya memperoleh atau memiliki. Pada perkataan حَلَاوَةَ الْإِيْمَانِ (manisnya iman) terdapat isti’arah takhyiliyyah, dimana Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyerupakan keinginan seorang Mukmin untuk beriman dengan sesuatu yang manis. Lalu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan salah satu hal yang tak terpisahkan dari sesuatu yang manis itu, yaitu حَلَاوَة (manis), dan menyandingkannya kepada kata الْإِيْمَان (iman). 


Di dalam hadits ini juga terkandung sebuah isyarat, yaitu perumpamaan antara orang yang sakit dengan orang yang sehat. Orang yang sakit kuning akan merasakan madu itu pahit, sementara orang yang sehat dapat menikmati manisnya madu. Apabila kesehatan berkurang, maka rasa manisnya madu pun semakin berkurang, sesuai dengan kondisi kesehatannya. Arti kiasan ini merupakan dalil yang paling kuat bagi Imam al-Bukhari rahimahullah untuk menetapkan bahwa iman itu bisa bertambah dan bisa berkurang. 


Syaikh Muhammad bin Abi Jamrah rahimahullah berkata, “Diistilahkannya iman dengan kata manis, karena Allâh Azza wa Jalla telah menyerupakan keimanan dengan pohon dalam firman Allâh Azza wa Jalla :


 أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَاءِ 


Tidakkah kamu memperhatikan bagaimana Allâh telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya kuat dan cabangnya (menjulang) ke langit.” [Ibrahim/14:24] 


Kalimat yang dimaksud adalah kalimatul ikhlas (Lâ Ilâha Illallâh), pohonnya sebagai pangkal dari keimanan, rantingnya adalah mengikuti perintah dan menjauhi larangan, daunnya adalah semangat seorang Mukmin dalam mengamalkan kebaikan, buahnya adalah ketaatan, manisnya buah adalah saat memetiknya, dan puncaknya adalah kematangannya. Dengan kesenangan itulah kemanisannya akan muncul.”[1] 


Syaikh al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Yang dimaksud manisnya iman di sini yaitu bukan seperti manisnya gula atau madu, tetapi manis yang lebih besar dari semua rasa manis. Rasa manis yang didapati oleh seseorang di dalam hatinya, kelezatan yang tidak setara dengan apa pun, ia mendapati kelapangan dalam dadanya, cinta kepada kebaikan, dan cinta kepada orang-orang yang berbuat baik.”[2] 


*Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :*


 مَنْ كَانَ اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا 


*Allâh dan Rasûl-Nya lebih ia cintai daripada selain keduanya*


Dalam hadits ini tidak dikatakan “Kemudian Rasulnya”, karena kecintaan kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengikuti dan timbul dari kecintaan kepada Allâh Azza wa Jalla . Seorang manusia mencintai Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sesuai kadar dia mencintai Allâh. Setiap kali dia lebih mencintai Allâh, maka dia akan lebih mencintai Rasûl juga. Tapi sangat disayangkan, banyak manusia yang mencintai Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melebihi kecintaan kepada Allâh dan tidak mencintai Rasûl karena Allâh. 


Perhatikanlah perbedaan tersebut. Seseorang mencintai Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melebihi kecintaannya kepada Allâh, dan ini termasuk bagian dari syirik. Engkau mencintai Rasûl, karena Beliau adalah Rasûlullâh. Sedangkan kecintaan pada asalnya dan yang pokok adalah kepada Allâh, tetapi mereka yang berbuat ghuluw (berlebihan) terhadap Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , mereka mencintai Rasûlullâh sama seperti kecintaan mereka kepada Allâh, dengan menjadikan Rasûl sebagai sekutu bagi Allâh dalam kecintaan mereka, bahkan lebih besar dari kecintaan mereka kepada Allâh. 


Engkau akan mendapati orang tersebut (yang berlebihan dalam mencintai Rasûl) jika disebut nama Rasûl, menggigillah kulitnya karena kecintaan dan pengagungan, tetapi ketika disebut nama Allâh Azza wa Jalla , ia hanya terdiam tak terpengaruh. Apakah kecintaan tersebut bermanfaat bagi seseorang? Itu sama sekali tidak bermanfaat baginya, karena merupakan perbuatan syirik. Engkau wajib mencintai Allâh dan Rasûl-Nya, tetapi hendaknya kecintaanmu kepada Rasûl timbul dari kecintaan kepada Allâh dan mengikuti kecintaan kepada Allâh.[3]


Kecintaan manusia kepada Allâh dan Rasûl-Nya wajib didahulukan daripada semua kecintaan manusia kepada apa saja. 


Allâh Azza wa Jalla berfirman,


 قُلْ إِنْ كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّىٰ يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ ۗ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ


Katakanlah, ‘Jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, istri-istrimu, keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perdagangan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya serta berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah memberikan keputusan-Nya.’ Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik. [At-Taubah/9:24] 


Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


 لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُوْنَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِيْنَ 


Tidaklah beriman salah seorang di antara kalian hingga aku lebih dicintainya melebihi kecintaannya pada orang tuanya, anaknya, bahkan seluruh manusia.” [4] 


Perkataan أَحَبَّ إِلَيْهِ “paling ia cintai”.Kedudukan أَحَبَّ manshub sebagai khabar dari kata يَكُوْنُ. Al-Baidhawi rahimahullah berkata: “Cinta yang dimaksud adalah cinta yang berlandaskan akal sehat, yaitu mengutamakan segala sesuatu menjadi tuntutan akal sehat,meskipun bertentangan dengan hawa nafsunya. Seperti orang sakit, ia dapat sembuh dengan minum obat yang menurut seleranya tidak disukainya. Namun, ia meminumnya karena perintah akal sehat. 


Apabila seseorang memperhatikan bahwa syari’at tidak akan memerintahkan ataupun melarang sesuatu kecuali yang mengandung kemaslahatan dalam waktu dekat atau keselamatan di masa mendatang, tentu saja akal sehat akan mengedepankan hal itu. Jiwanya akan terlatih untuk mengerjakan perintah syari’at sehingga hawa nafsunyalah yang mengikuti dirinya. Akalnya merasakan kelezatan dalam menjalankannya. Kelezatan akal seperti ini adalah dengan meraih kesempurnaan dan kebaikan dari sesuatu yang memang sempurna dan baik. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menggunakan istilah manis untuk menggambarkan kondisi tersebut, sebab rasa manis merupakan kelezatan yang dapat dirasakan oleh indera manusia.


Al-Baidhawi rahimahullah melanjutkan, “Allâh telah menjadikan ketiga perkara tersebut sebagai tanda kesempurnaan iman, karena jika seseorang merenungi secara mendalam, bahwasanya Allâh-lah pemberi nikmat yang hakiki, pada hakikatnya Dia sajalah yang memberi dan menahan karunia, makhluk hanyalah sebagai perantara belaka, dan para Rasûl-lah yang menjelaskan kehendak Allâh kepada makhluk, niscaya semua itu akan menjadikannya menumpahkan jiwa raganya kepada Allâh, ia hanya mencintai apa yang dicintai Allâh, dan hanya mencintai sesuatu karena-Nya. Juga harus meyakini bahwasanya segala sesuatu yang telah dijanjikan dan diancamkan oleh-Nya adalah haq dan benar. Janji Allâh tersebut seakan benar-benar muncul di hadapannya. Ia merasakan majelis ilmu bagaikan taman-taman Surga, dan bahwa kembali kepada kekufuran laksana dilemparkan ke dalam api.”[5] 


Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Hadits ini sangat agung kedudukannya dan merupakan salah satu pokok keimanan. Makna manisnya iman adalah *kelezatan dalam melakukan ketaatan dan berani menanggung beban berat ketika menjalankan agama, serta lebih mengutamakan agama daripada dunia. Cinta hamba kepada Allâh dapat terwujud dengan mengerjakan ketaatan dan menjauhi maksiat atau kedurhakaan.* Demikian pula halnya cinta kepada Rasûl[6] 


Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan   سِوَاهُمَا مِمَّا (“dari pada selain keduanya”) dan tidak menggunakan kata  مِمَّنْ, supaya kandungannya lebih umum, karena  مَا  itu mencakup makhluk yang berakal dan yang tidak berakal.


Mengikuti Rasûl itu membuahkan dua cinta, cinta hamba kepada Allâh dan cinta Allâh kepada hamba.


Allâh Azza wa Jalla berfirman,


 قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ 


Katakanlah (wahai Muhammad): ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allâh, ikutilah aku, niscaya Allâh mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.’ Allâh itu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [Ali ‘Imran/3:31] Berkata Imam Ibnu Katsir rahimahullah (wafat th. 774 H),


Ayat ini adalah sebagai pemutus hukum bagi setiap orang yang mengaku mencintai Allâh Azza wa Jalla namun tidak mau menempuh jalan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka orang itu telah berdusta dalam pengakuannya tersebut sampai ia mengikuti syari’at dan agama yang dibawa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam semua ucapan dan perbuatannya, sebagaimana terdapat dalam Shahîh al-Bukhâri dan Shahîh Muslim, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


 مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ 


Barangsiapa melakukan suatu amalan, yang tidak termasuk dalam urusan agama kami, maka amalan tersebut tertolak.” [7] 


Oleh karena itulah, Allâh Azza wa Jalla berfirman,


 إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ  


Jika kamu(benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Kalian akan mendapatkan apa yang kalian minta, dari kecintaan kalian kepada-Nya, yaitu kecintaan Allâh Azza wa Jalla kepada kalian, dan ini lebih besar daripada yang pertama, sebagaimana yang diucapkan oleh para ulama: “Yang penting adalah bukan bagaimana kalian mencintai, akan tetapi bagaimana kalian dicintai oleh Allâh.”[8] 


Yang pertama kita mencintai Allâh dan yang kedua Allâh Azza wa Jalla mencintai kita. Menurut al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah, bahwa Allâh mencintai kita itulah yang paling besar, tetapi bagaimana supaya kita bisa dicintai oleh Allâh? Setiap kita bisa mencintai, namun tidak setiap kita bisa dicintai. Syarat untuk dapat dicintai oleh Allâh Azza wa Jalla adalah dengan ittiba’ kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .


Imam al-Hasan al-Bashri rahimahullah dan ulama Salaf  lainnya mengatakan, “Sebagian manusia mengatakan mencintai Allâh, maka Allâh menguji mereka dengan ayat ini.”[9] Orang-orang munafiq mengucapkan cinta kepada Allâh dan Rasûl-Nya , namun hatinya tidak demikian dikarenakan mereka tidak mengikuti Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ayat ini mengandung fadhilah (keutamaan) apabila kita ittiba’ (mengikuti) Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yaitu: 


Pertama, Allâh akan mencintai kita. Kedua, Allâh akan mengampuni dosa-dosa kita. 


Perkataan: (وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْأَ) “Mencintai seseorang”. Yahya bin Mu’adz berkata, “Hakikat mencintai seseorang karena Allâh adalah cinta itu tidak bertambah karena kebaikan orang itu dan tidak surut karena tabiat kasarnya.”[10] 


Imam Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Barang siapa yang mencintai Allâh dan Rasûl-Nya dengan kecintaan yang jujur dari hatinya, maka dia harus mencintai juga dengan hatinya apa yang dicintai oleh Allâh dan Rasûl-Nya, membenci apa yang dibenci oleh Allâh dan Rasûl-Nya, ridha dengan apa yang diridhai oleh Allâh dan Rasûl-Nya, marah terhadap apa yang dimurkai oleh Allâh dan Rasûl-Nya, dan mengamalkan dengan anggota badannya sesuai dengan cinta dan benci tersebut. Jika ia melakukan sesuatu dengan anggota badannya yang menyelisihi itu, atau melakukan sebagian yang dibenci oleh Allâh dan Rasûl-Nya, atau meninggalkan sebagian apa yang dicintai oleh Allâh dan Rasûl-Nya, padahal hal tersebut wajib dan ia mampu, maka itu menunjukkan kurangnya kecintaan yang wajib. Ia wajib bertaubat dan kembali menyempurnakan kecintaan yang wajib.”[11] 


*FAWAA’ID*

 

1. Iman adalah keyakinan hati, diikrarkan dengan lisan, dilaksanakan dengan anggota tubuh, bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan sebab perbuatan dosa dan maksiat. 


2. Iman bertambah dan berkurang sebagai bantahan kepada firqah yang sesat, yaitu murji`ah. 


3. Manisnya iman dapat dirasakan melalui ketaatan dan kesukaan kepadanya serta mendahulukannya atas hawa nafsu. 


4. Seseorang dapat merasakan manisnya iman apabila dia melaksanakan ketaatan-ketaatan kepada Allâh dan Rasûl-Nya, menanggung beban berat dalam melaksanakan agama dan mendahulukan agama atas dunia. 


5. Seseroang harus mencintai Allâh dan Rasûl-Nya lebih daripada cintanya kepada kedua orang tua, anak, bahkan dirinya sendiri serta manusia secara keseluruhan.


6. Cinta kepada Allâh dan Rasûl-Nya yaitu mengutamakan keridhaan Allâh dan Rasûl-Nya daripada hawa nafsu, di mana hawa nafsu manusia wajib mengikuti apa yang dibawa oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . 


7. Konsekuensi cinta kepada Allâh yaitu wajib mentauhidkan Allâh, mengikhlaskan ibadah kepada-Nya, takut, harap, tawakkal, do’a dan semua ibadah wajib dilaksanakan semata-mata karena Allâh dan menurut syari’at-Nya, serta wajib menjauhkan segala macam bentuk kesyirikan dan kekufuran. 


8. Konsekuensi cinta kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan ittiba kepada beliau dan tidak boleh berbuat bid’ah. 


9. Hubungan antar orang-orang Mukmin itu didasarkan pada kecintaan karena Allâh. 


10. Seorang Mukmin wajib wala` (cinta dan loyal) kepada Allâh, Rasûl-Nya dan agama Islam.


11. Cinta seorang Mukmin wajib karena Allâh, bukan karena dunia, kesukuan, harta, dan lainnya. 


12. Cinta manusia karena dunia, harta, kesukuan, dan lainnya semuanya tidak bermanfaat di akhirat. 


Allâh Azza wa Jalla berfirman,


 الْأَخِلَّاءُ يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلَّا الْمُتَّقِينَ 


Teman-teman karib pada hari itu saling bermusuhan satu sama lain, kecuali mereka yang bertakwa.” [Az-Zukhruf/43:67] 


13. Kebencian kepada kekufuran itu terwujud dengan menjauhkan diri darinya dan dari berbagai sebabnya serta segala yang mendekatkan diri kepadanya berupa kemaksiatan maupun bid’ah. 


14. Kita wajib bara`(membenci) orang kafir karena Allâh. 


15. Mencintai apa yang dicintai Allâh dan Rasûl-Nya serta mencintai orang yang dicintai oleh Allâh dan Rasûl-Nya.


16. Membenci apa yang dibenci oleh Allâh dan Rasûl-Nya serta membenci orang yang dibenci oleh Allâh dan Rasûl-Nya. 


17. Membenci kekufuran melebihi kebenciannya dilemparkan ke dalam Neraka. 


*MARAJI’:*


1. Kutubus Sittah 

2. Tafsîr Ibni Katsîr, cet. Dâr Thaybah 

3. Fat-hul Bâri, al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani, cet. Darul Fikr 

4. Syarah Shahih Muslim, Imam an-Nawawi, cet. Darul Fikr 

5. Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam, Imam Ibnu Rajab al-Hanbali, cet.Mu’assasah ar-Risalah

6. Syarah Riyâdhis Shâlihîn, Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin 7.Bahajatun Nâzhirîn Syarah Riyâdhis Shâlihîn, Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali 


......................................


[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XX/1437H/2017M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo 


_______ 


Footnote


 [1] Fat-hul Bâri (I/60). [2] Syarah Riyâdhis Shâlihîn (III/258). [3] Syarah Riyâdhis Shâlihîn (III/258-259). 


[4] Shahih: HR. Al-Bukhâri (no. 15), Muslim (no. 44), Ahmad (III/177, 275), dan an-Nasa-i (VIII/114-115), dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu . Ini lafazh al-Bukhâri.


[5] Fat-hul Bâri (I/60-61). 

[6] Syarah Shahîh Muslim (II/13), Imam an-Nawawi. 


[7] Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 2697), Muslim (no. 1718), Abu Dawud (no. 4606), dan Ibnu Majah (no. 14), dari hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anha. 


[8] Tafsîr Ibnu Katsîr (II/32), Dâr Thaybah, th. 1428 H.


 [9] Tafsîr Ibnu Katsîr (II/32), Dâr Thaybah, th. 1428 H. 


[10] Fat-hul Bâri (I/62). 

[11] Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (II/396-397).



*_Ⓜ️edia Sunnah Nabi_*




📘📖......................✍🏻

Kamis, 06 Mei 2021

Puasa Ramadhan yang Satu dengan Puasa Ramadhan Berikutnya Penghapus Dosa*

 _*ONE DAY ONE HADITS*_

Jum'at, 7 Mei 2021/ 25 Ramadhan 1442


*


عن أبي هريرة رضي اللَّه عنه قال، قال رسول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :


الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ وَالْجُمْعَةُ إِلَى الْجُمْعَةِ وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ مُكَفِّرَاتٌ مَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتَنَبَ الْكَبَائِرَ


Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu  berkata bahwa, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,Hurairah radhiyallahu’anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Shalat lima waktu. Ibadah Jum’at yang satu dengan ibadah jum’at berikutnya. Puasa Ramadhan yang satu dengan puasa Ramadhan berikutnya. Itu semua merupakan penghapus dosa antara keduanya, selama dosa-dosa besar dijauhi.” (HR. Muslim [233])


*Pelajaran yang terdapat didalam hadits :*


1- An-Nawawi mengatakan bahwa pendapat  populer di kalangan ulama ahli fikih menyatakan bahwa dosa-dosa  terampuni dengan melakukan puasa Ramadhan adalah dosa kecil  (lihat Al-Minhaj, 4/76).

2- Dari hadits ini diambil kesimpulan bahwa yang dimaksudkan adalah khusus dosa-dosa kecil saja, sebab Nabi menyerupakan dosa itu dengan kotoran yang menempel di tubuh. Sedangkan kotoran yang menempel di tubuh jelas lebih kecil ukurannya dibandingkan dengan bekas luka ataupun kotoran-kotoran manusia.


*Tema hadist yang berkaitan dengan Al qur'an :*


1- Hadits-hadits yang menyebutkan tentang penghapusan dosa karena amal kebaikan di atas sesuai dengan kandungan firman Allah ta’ala,


إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ


“Sesungguhnya amal-amal kebaikan itu akan menghapuskan dosa-dosa.” (Qs. Huud [11]: 114)


2- Sebagaimana Allah juga menjadikan tindakan menjauhi dosa-dosa besar sebagai sebab dihapuskannya dosa-dosa kecil. Allah berfirman,


إِنْ تَجْتَنِبُوا كَبَائِرَ مَا تُنْهَوْنَ عَنْهُ نُكَفِّرْ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَنُدْخِلْكُمْ مُدْخَلًا كَرِيمًا


“Jika kalian menjauhi dosa-dosa besar yang dilarang kepada kalian niscaya Kami akan menghapuskan dosa-dosa kecil kalian dan Kami akan memasukkan kalian ke dalam tempat yang mulia (surga).” (Qs. An-Nisaa’ [4]: 31)

Sabtu, 01 Mei 2021

Puasa, Sedekah dan Qiamullail

 PERKONGSIAN 1 HARI 1 HADIS

  


 

عَنْ مُعَاذٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ سَأُنَبِّئُكَ بِأَبْوَابٍ مِنْ الْخَيْرِ الصَّوْمُ جُنَّةٌ وَالصَّدَقَةُ تُطْفِئُ الْخَطِيئَةَ كَمَا يُطْفِئُ الْمَاءُ النَّارَ وَقِيَامُ الْعَبْدِ مِنْ اللَّيْلِ 


Daripada Mu'adz bin Jabal bahawa Nabi SAW bersabda; "Aku akan memberitahu kepadamu pintu-pintu kebaikan iaitu; puasa adalah perisai, sedekah meleburkan dosa seperti air memadamkan api, dan seorang hamba bangun di malam hari.

(HR Ahmad No: 21116) Status: Isnad Hasan


Pengajaran:


1.  Pelbagai pintu kebaikan dianugerahkan kepada orang mukmin khususnya di bulan Ramadan antaranya ibadat puasa, sedekah dan Qiamullail.


2.  Ibadat puasa adalah pintu kebaikan yang menjadi benteng atau perisai seorang mukmin daripada melakukan perkara-perkara yang dilarang oleh Allah.


3.  Puasa adalah perisai yang akan melindungi dari kehancuran jiwa, kerosakan perjalanan hidup, melindungi diri dari terjerumus ke dalam golongan manusia yang tidak memiliki sifat sabar.


4.  Puasa juga menjadi perisai memberikan keteguhan hati untuk bertakwa kepada Allah. 


5.  Ibadah sedekah pula adalah pintu kebaikan seorang  mukmin yang boleh menjadi penghapus daripada dosa. Hadis Nabi SAW:


اِتَّقُوا النَّارَوَلَوبِشِقِّ تَمْرَةٍ


Hindarilah neraka meskipun dengan sebelah biji korma.

(HR Bukhari  no 5564) Status: Hadis Sahih


6.  Menghidupkan malam (Qiamullail) dengan melakukan solat sunat, tilawah al-Quran, berzikir, memohon ampun dan berdoa merupakan pintu bebaikan seorang Mukmin untuk membina kekuatan rohani. Daripada Abu Hurairah RA, sabda Rasulullah SAW:


يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرُ يَقُولُ: مَنْ يَدْعُونِي فَأَسْتَجِيبَ لَهُ مَنْ يَسْأَلُنِي فَأُعْطِيَهُ مَنْ يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرَ لَهُ


“Tuhan yang Maha Berkat dan Maha Tinggi turun setiap malam ke langit dunia sewaktu masa berbaki sepertiga malam terakhir dan berfirman: Barangsiapa yang berdoa kepada-Ku, nescaya Aku perkenankan baginya. Baransiapa yang meminta kepada-Ku nescaya aku akan memberikan (apa yang dipinta) kepadanya. Barangsiapa yang meminta pengampunan daripada-Ku, nescaya Aku akan mengampuninya”.

(HR Bukhari  No:1145).


Ambillah kesempatan Ramadan ini untuk merebut pintu-pintu kebaikan dengan berpuasa, bersedekah dan qiamullail. Semoga semua ibadah ini menjadi pembina perisai diri, menghapuskan dosa dan menguatkan rohani.


01hb Mei  2021

19hb Ramadan 1442H

Amalan Rasulullah Sepuluh Hari Terakhir Ramadhan*

 *ONE DAY ONE HADITS*


Sabtu, 1 Mei 2021/ 19 Ramadhan 1442


*

 

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ شَدَّ مِئْزَرَهُ وَأَحْيَا لَيْلَهُ وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ (متفق عليه)


Artinya: Diriwayatkan dari Aisyah ra, bahwasannya “Rasulullah Sallallabu alaihi wa salam jika memasuki sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadan, mengencangkan sarungnya, dan menghidupkan malam-malamnya, serta membangunkan keluarganya” (Muttafaq Alaih).


Pelajaran yang terdapat di dalam hadits:


1- Jika Rasulullah saw pada permulaan bulan Ramadan memiliki intensitas yang tinggi dalam beribadah, maka pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadan, intensitas ibadah beliau meningkat berlipat-lipat. 

2- Secara garis besar, riwayat-riwayat dari Aisyah ra. mendeskripsikan kegigihan Rasulullah saw dalam mengisi sepuluh hari terakhir bulan Ramadan dengan ibadah-ibadah kepada sang Khaliq, bahkan beliau saw juga turut mengajak keluarganya untuk menghidupkan malam-malam sepuluh hari terakhir tersebut. Semua itu, beliau lakukan karena pengetahuan beliau tentang betapa istimewanya sepuluh hari terakhir bulan Ramadan beserta malam-malamnya.

3- Dan di antara ibadah-ibadah tertentu yang beliau laksanakan pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadan adalah ibadah iktikaf. Hal tersebut beliau lakukan sebagai usaha terbaik untuk meraih malam yang lebih baik dari seribu bulan (lailatulqadar).


عَنْ عَائِشَةَ – رضى الله عنها – أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ ..ِ (رواه مسلم)


Artinya: Diriwayatkan dari Aisyah ra, “Bahwasannya Rasulullah saw beritikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadan, hingga saat beliau wafat menghadap Allah Swt” (HR. Muslim)


Tema hadist yang berkaitan dengan Al Qur'an:


- “Malam kemuliaan” dikenal dengan malam Lailatul Qadr, yaitu satu malam yang penuh dengan kemuliaan, keagungan dan tanda-tanda kebesaran Allah Ta’ala, karena malam itu merupakan permulaan diturunkannya al-Quran. 


إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ


Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (al-Quran) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Rabbnya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar” (QS. Al-Qadr: 1-5).